Kamis, 25 Juni 2015

Tugas pertemuan 13 ( perdagangan internasional )



PERDAGANGAN INTERNASIONAL

    Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara,  perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun  perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad  belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
1.TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL 

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri,  perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat  perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
a.Teori Klasik Dalam PerdaganganInternasional 

1)Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori biaya produksi, walaupun semula menggunakan teori nilai tenaga kerja. Barang mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Ongkos  produksi menentukan harga relatif barang, sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan harga pasar dalam jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga alamiah, dan dengan teori tersebut timbul konsep paradoks tentang nilai.

2)Ricardo adalah seorang Pemikir yang paling menonjol di antara segenap pakar Mazhab Klasik. Ia sangat terkenal karena kecermatan berpikir, metode pendekatannya hampir seluruhnya deduktif. David Ricardo telah mengembangkan pemikiran-pemikiran Adam Smith secara lebih terjabar dan juga lebih sistematis. Dan pendekatannya teoretis deduktif, pemikirannya didasarkan atas hipotesis yang dijadikan kerangka acuannya untuk mengkaji berbagai permasalahan menurut  pendekatan logika. Teori yang dikembangkan oleh Ricardo menyangkut empat kelompok  permasalahan yaitu: teori tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh

produksi dan disajikan sebagai teori upah, teori sewa tanah, teori bunga dan laba, teori tentang nilai dan harga, teori perdagangan internasional dan, teori tentang akumulasi dan perkembangan ekonomi.

b.Teori Neo-Klasik Dalam PerdaganganInternasional 

1)Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi baik dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility). Pendekatan ini merupakan  pendekatan yang baru dalam teori ekonomi.

2)Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia telah memberikan sumbangan dalam  pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I dan II. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk  berbagai jenis barang yang diperlukannya. Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori nilai dari kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan dalam menentukan nilai barang. Dan perbedaan preferences yang menimbulkan perbedaan harga. Sedangkan Menger menjelaskan teori nilai dari orde berbagai  jenis barang, menurut dia nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.
3)Pemikiran yang sangat mengagumkan yang disusun oleh Walras tentang teori keseimbangan umum melalui empat sistem persamaan yang serempak. Dalam sistem itu terjadi keterkaitan antara berbagai aktivitas ekonomi seperti teori produksi, konsumsi dan distribusi. Asumsi yang digunakan Walras adalah persaingan sempurna, jumlah modal, tenaga kerja, dan lahan terbatas, sedangkan teknologi produksi dan selera konsumen tetap. Jika terjadi perubahan pada salah satu asumsi ini maka terjadi perubahan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas ekonomi

2. Perkembangan Ekspor dan Import Indonesia
   
   Sejak tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspot non migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun 2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun 2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik 17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$. Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun. Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%.

3. Tingkat daya saing Indonesia
    Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.
Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang  merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam  menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan reformasi birokrasi.
Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya  dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.
Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.
Hal ini kontraproduktif dengan  proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015,  yang  memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan.
Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan  pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan  dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM,  perlu terus diupayakan   membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan  calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya  menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.
Ketatnya persaingan akan  menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity”  yang menjamin akselerasi berbagai implementasi  kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih   dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship  ke dalam birokrasi dapat  menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut,  mewirausahakan birokrasi  sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan  usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.
Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi  David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah,  agar memiliki  nilai tambah ekonomi tinggi.
Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship  seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan   kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.
Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan  kinerja birokrasi dalam  memperkuat daya saing ekonomi nasional  dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.



Sumber :
www.gunadarma.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar