PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Perdagangan Internasional adalah
perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama.
Penduduk yang dimaksud dapat berupa
antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan
pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan
internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun
perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur
Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap
kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan.
Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan
multinasional.
1.TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan
perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit
dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya
batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan,
misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu,
kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang,
taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
a.Teori Klasik Dalam PerdaganganInternasional
1)Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori biaya
produksi, walaupun semula menggunakan teori nilai tenaga kerja. Barang
mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Ongkos produksi menentukan harga
relatif barang, sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan
harga pasar dalam jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga
alamiah, dan dengan teori tersebut timbul konsep paradoks tentang nilai.
2)Ricardo adalah seorang Pemikir yang paling menonjol di
antara segenap pakar Mazhab Klasik. Ia sangat terkenal karena kecermatan
berpikir, metode pendekatannya hampir seluruhnya deduktif. David Ricardo telah
mengembangkan pemikiran-pemikiran Adam Smith secara lebih terjabar dan juga
lebih sistematis. Dan pendekatannya teoretis deduktif, pemikirannya didasarkan
atas hipotesis yang dijadikan kerangka acuannya untuk mengkaji berbagai
permasalahan menurut pendekatan logika. Teori yang dikembangkan oleh
Ricardo menyangkut empat kelompok permasalahan yaitu: teori tentang
distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh
produksi dan disajikan sebagai teori upah, teori sewa tanah,
teori bunga dan laba, teori tentang nilai dan harga, teori perdagangan
internasional dan, teori tentang akumulasi dan perkembangan ekonomi.
b.Teori Neo-Klasik Dalam PerdaganganInternasional
1)Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi
baik dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan
pada nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan
marjinal (marginal utility). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang
baru dalam teori ekonomi.
2)Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia
telah memberikan sumbangan dalam pemikiran ekonomi yang kemudian disebut
sebagai Hukum Gossen I dan II. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas
barang yang dikonsumsi dan tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum
Gossen II, bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk berbagai
jenis barang yang diperlukannya. Selain Gossen, Jevons dan Menger juga
mengembangkan teori nilai dari kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku
individulah yang berperan dalam menentukan nilai barang. Dan perbedaan
preferences yang menimbulkan perbedaan harga. Sedangkan Menger menjelaskan
teori nilai dari orde berbagai jenis barang, menurut dia nilai suatu
barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Dengan
teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.
3)Pemikiran yang sangat mengagumkan yang disusun oleh Walras
tentang teori keseimbangan umum melalui empat sistem persamaan yang serempak.
Dalam sistem itu terjadi keterkaitan antara berbagai aktivitas ekonomi seperti
teori produksi, konsumsi dan distribusi. Asumsi yang digunakan Walras adalah
persaingan sempurna, jumlah modal, tenaga kerja, dan lahan terbatas, sedangkan
teknologi produksi dan selera konsumen tetap. Jika terjadi perubahan pada salah
satu asumsi ini maka terjadi perubahan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas
ekonomi
2.
Perkembangan Ekspor dan Import Indonesia
Sejak tahun
1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada
tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini
terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di
bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspot non
migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total
nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas
tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun
5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda indonesia
sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun 2000 terjadi peningkatan
ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0
juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non
migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada
tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%),
demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor
mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding eskpor
tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi pada ekspor
non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun 2004 ekspor kembali
mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik 17,24%) demikian juga
ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$. Pada tahun 2006 nilai
ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%,
begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005
menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama lima tahun terakhir, nilai
impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$
per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau
meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan
ini disebabkan oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%)
menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%)
menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar
54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat dari kontribusinya,
rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama lima tahun terakhir
mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun. Dibandingkan tahun
sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun
2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%.
3. Tingkat daya saing Indonesia
Kita
patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di
Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus
diakui masih terdapat berbagai kekurangan yang menjadi tugas bersama
untuk terus memperbaikinya.Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan reformasi birokrasi.
Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.
Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.
Hal ini kontraproduktif dengan proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015, yang memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan.
Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM, perlu terus diupayakan membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.
Ketatnya persaingan akan menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity” yang menjamin akselerasi berbagai implementasi kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.
Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah, agar memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.
Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.
Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan kinerja birokrasi dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sumber :
www.gunadarma.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar